Graffiti

Sabtu, 15 Mei 2010

MY CREW and MURAL history

kami berdiri pada tanggal 8 mei 2010 Dan di resmikan di Bandung,
itupun dengan ketidak sengajaan, karena crew kami terbentuk, dari bebearapa anggota dari crew graffiti.

Danz catkiller : Pecahan Dari Sakura crew
Madun Madz :Pecahan Dari Sakura crew
Reza 666 : Buangan Dari AMMO crew
Ugie : Buangan Dari Antz crew

THX to:
Allah SWT.
Mom/ fathr
GDC( Lembang.BDG)
Dr.Foo
Bomber Karawang
Acme crew
L.A (munir)
Sakura crew
Kang EDOR (Inspirator)
mtr JUpiter Mx & Mio
Warga (yang udah respect)
misi kami adalah untuk memperkenalkan seni mural (menggambar di atas tembok) kepada warga/masyarakat indonesia bahwa seni mural itu bahwa kami bukan lah kriminal atau perusak apalagi mengotori keindahan kota.
Selama ini kita hanya mengenal mural sekedar sebagai aktivitas coret-coret dinding/tembok, ataupun yang paling tinggi memahami mural sebagai aktivitas kesenian. Tetapi, sangat kurang menangkap peran mural sebagai media komunikasi, penyampaian pesan, dan penggugah semangat. Sebagian besar dari kita sudah lupa bahwa mural selain sebagai bentuk tulisan yang memuat isian seni di dalamnya punya peranan yang tidak sedikit dalam sejarah. Kendati sejarah selalu dituliskan berdasarkan bait-bait yang dikehendaki oleh sang penguasa.
Namun, beberapa tulisan telah menjadi sumber inspirasi, sumber penyatuan ide, dan menjadi saksi-saksi sejarah bagi generasi kemudian. Revolusi Perancis mencatat bagaimana mural-mural yang di buat oleh aktivis kiri menjadi bahan propaganda yang menggema dalam revolusi Perancis May 1968. Revolusi Rusia yang termasyur itupun didalamnya dikenal sejarah mural di dinding pabrik dan tembok istana raja untuk menyadarkan orang akan situasi Rusia dan apa yang harus dilakukan. Dalam sejarah Revolusi Indonesia pun kita mengenal kata-kata yang cukup popular diantara kaum pejuang yakni Merdeka atau Mati, Boeng Ayo Boeng atau Kata-kata Revolusi Sampai Mati. Namun sekarang merebaknya mural di berbagai kota justru menimbulkan pencitraan yang negatif oleh mayoritas di antara kita. Padahal, itu harus dimaknai sebuah ungkapan/Ekspresi dari sebuah ide, walaupun ide-ide itu masih samar-samar.
Di Jogjakarta paska Gempa bumi, muncul mural di mana-mana yang memberikan semangat dan motivasi bagi semua warga masyarakat untuk bangkit. Di Jakarta, problem perkotaan seperti kemiskinan, polusi udara, kemacetan, dan situasi nasional bisa tergambarkan oleh mural-mural yang menghiasi berbagai tembok dan dinding sepanjang jalan di Jakarta. Mural dan Revolusi Nasional Dalam revolusi nasional mempertahankan kemerdekaan ada 2 nama yang sangat terkenal yakni Affandi dan Sudjojono dalam konteks pembebasan lewat seni rupa. Peranan mereka tidak dapat dikecilkan, mengingat beberapa karya justru menjadi pesan yang mengobarkan semangat kaum muda melawan penjajahan. Affandi misalnya, lewat lukisan dan muralnya yang berjudul Tiga Pengemis telah menjadi alat yang efektif sebagai bahan propaganda untuk menyadarkan kaum muda akan nasib bangsanya.
Dalam revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan, lukisan dan muralnya yang menggambarkan seorang pemuda memekikkan kata merdeka sanggup membangkitkan semangat kaum muda. Selain itu kata-kata Boeng, Ayo Boeng dimassalkan oleh pelukis lain lewat coretan dinding (mural) sanggup memobilisasi kaum muda terlibat dalam laskar-laskar mempertahankan kemerdekaan. Lihat saja dalam film –film documenter sejarah perjuangan bangsa kita, mural hadir dalam setiap front-front perlawanan di garis depan. Kereta-kereta api yang mengangkut pejuang di penuhi dengan coretan-coretan yang membangkitkan nasionalisme, yang kemudian ditangkap oleh rakyat sebagai seruan untuk mempertahankan kemerdekaan.
Tahun 1950-an, boleh dikatakan sebagai puncak kejayaan seni dan sastra pembebasan termasuk di dalamnya mural. Penolakan terhadap hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), dan kenyataan bahwa penjajah belanda tidak sepenuhnya enyah dari Indonesia termanifestasikan dalam seruan-seruan coretan dinding (mural). Kata-kata seperti Ayo tuntaskan revolusi kita atau Ganyang Imperialisme Inggris-Amerika tidak sulit untuk ditemui sepanjang dinding tembok pinggir jalan. Seni rupa memang tidak bisa dilepaskan dari kepentingan politik dan ideologis. Tinggal sekarang, sejauh mana sastra dan seni rupa mau mengabdi kepada mayoritas massa rakyat yang terhisap. Eksistensi mural-mural ini sangat signifikan dalam masa-masa revolusi, karena telah menjadi bahasa pesan untuk menyampaikan seruan perjuangan. Kita tidak bisa menafikan bahwa menggemanya kata-kata Merdeka atau Mati dan Boeng, Ayo Boeng tidak bisa di lepaskan dari keberadaan mural sebagai alat propaganda di ruang publik.
Selama revolusi fisik hingga detik-detik terakhir kejatuhan pemerintahan Soekarno, mural punya andil dalam menyatukan ide soal persatuan nasional, kemerdekaan sejati, dan tugas-tugas revolusi di masa depan. Namun, naiknya rejim Orde Baru telah memberangus daya kritis, termasuk prinsip kesukarelaan semua suku bangsa dalam sebuah Nation. Jika di jaman Soekarno persatuan dan nasionalisme Indonesia terlahir/terwujud dari ide-ide yang tentu saja senjatanya adalah tulisan (artikel, Koran, mural, lukisan, selebaran, dsb), di bawah kekuasan Orde Baru nasionalisme Indonesia dipaksakan dengan pendekatan militeristik, sehingga nasionalisme yang dihadirkan adalah nasionalisme yang berdarah-darah, penuh paksaan dan Chauvinis. Menempatkan Mural dalam situasi Indonesia Kini Pandangan merendahkan eksistensi mural di berbagai sudut kota adalah tindakan yang ahistoris dan tidak peka dengan situasi. Di bawah gempuran budaya neoliberalisme (di mana salah satu unsurnya adalah Individualisme), keberadaan ruang-ruang public terus digeser dan dihapuskan oleh derasnya modal dan ideology individualisme. Di kota-kota besar sekarang sangat susah menemukan ruang public yang gratis (yang bisa diakses banyak orang) dan memberikan ruang yang leluasa bagi semua individu tanpa memandang klas. Ruang-ruang public di dominasi oleh selebriti, tokoh-tokoh politik, atlet-atlet terkenal, dan produk-produk komersil. Papan reklame yang menawarkan produk, dengan bahan propaganda selebriti cantik dan seksi menghiasi seluruh kota.
Bersamaan dengan semua proses semua itu, ideology nasionalisme kita juga semakin direduksi dan digantikan dengan ideology individualisme dan konsumtivisme. Ideologi neoliberal telah menggerus ideology nasionalisme kita. Dalam kondisi seperti ini, menurut Antonio Gramsci (seorang Marxis Italia) bahwa bentuk hegemoni harus dilawan dengan counter hegemoni. Sehingga dalam memaknai kebangkitan mural di berbagai kota besar di Indonesia saat ini harus diletakkan dalam pengertian sebagai berikut:
(1) ruang aktualisasi diri (bereksistensi) merupakan gerakan cultural untuk melawan dan merebut kembali ruang-ruang public yang saat ini dikuasai pasar. Dinding tembok, trotoar, dan halte merupakan ruang public (Public Space) yang selalu di saksikan oleh banyak orang.
(2). Munculnya mural-mural politis dan ideologis merupakan senjata ampuh merebut dan membentuk kembali ide nasionalisme kita yang telah lama dibiaskan. Papan reklame yang menawarkan komoditi, pornografi (industri seksual), dan konsumtivisme harus dicounter dengan propaganda alternatif salah satunya adalah mural.
(3). Mural-mural itu penting untuk membangkitkan kembali ingatan kolektif massa akan sejarah nasional bangsa ini.
Di Cuba tahun 1970-an, ketika semangat revolusi semakin surut dikalangan kaum muda, pemerintahan revolusioner Castro menghidupkan kembali sosok Che Guevara dalam berbagai bentuk termasuk mural-mural. Sekarang saatnya kembali mengangkat mural dalam konteks perjuangan nasional mengembalikan kepribadian bangsa Indonesia yang dikenal dengan semangat gotong royong, anti imperialisme, dan anti eksploitasi. Tidak seharusnya mural hanya di tempatkan sebagai media penghilang stress karena macet dan lain sebagainya. Cukup Sudah Jadi Bangsa kuli, bangkit jadi Bangsa mandiri.
sumber. BERDIKARI ONLINE

full charcters